Kepercayaan tentang adanya Mitos Gunung Pegat di Desa Karang Kembang sangat diyakini oleh banyak kalangan masyarakat di daerah Lamongan, Jombang, Bojonegoro, Tuban dan sekitarnya yang sudah turun temurun secara generasi. Mungkin generasi muda sekarang ini tidak tahu persis tentang asal-mula sejarah dari Mitos Gunung Pegat, tapi kepercayaan tersebut sudah diyakini dari zaman nenek moyang terdahulu hingga diyakini sampai sekarang ini. Gunung Pegat sendiri merupakan satu gunung kapur yang berada di Lamongan yang memiliki mitos yang kental dengan kisah yang mistis. Gunung Pegat yang sudah menjadi kisah legenda bagi masyarakat sekitar khususnya, tentu saja memiliki kisah sejarah asal-usul.
Mitos membuang ayam berawal bahwasanya dulu ada putra Kanjeng Jombang yang sedang bersemedi di Gunung Pegat hingga bertahun-tahun, sampai akhirnya putra Kanjeng Jombang berubah menjadi seekor ular yang sangat besar. Oleh warga Puncak Wangi ular besar tersebut tubuhnya dikuliti karena mereka tidak mengetahui kalau ular tersebut adalah jelmaan dari putra Kanjeng Jombang. Akhirnya ular tersebut marah hingga akan meledakkan atau memusnahkan Gunung Pegat. Konon ular tersebut sampai saat ini masih ada, menurut orang pintar atau orang yang berilmu, ular tersebut sangat besar dan tubuhnya mengitari Gunung Pegat. Oleh karena itu apabila ada pengantin baru yang hendak menikah jika melewati Gunung Pegat harus melempar ayam hitam sebagai bentuk permisi.
Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa dulu Gunung Pegat itu satu, berbentuk panjang dan membentang luas. Kemudian saat zaman kolonial Belanda, gunung tersebut dibelah karena pada saat itu di butuhkan jalan penghubung antara Babat-Jombang. Dari situ gunung tersebut dinamakan Gunung Pegat. Sehingga sekarang Gunung Pegat tersebut terpisah menjadi dua yakni sebelah barat dan timur. Gunung yang berada di sebelah barat dinamakan gunung putri, sedangkan gunung yang berada di sebelah timur dinamakan gunung putra. Saat para pekerja pribumi dipaksa oleh pemerintah kolonial untuk bekerja sepanjang siang dan malam tanpa upah, tanpa diberi makan dan minum. Tidak sedikit korban yang berjatuhan karenanya, sehingga muncullah sumpah serapah dari para pekerja pribumi yang masih hidup “sopo wae sing ngliwati dalan iki bakal pegatan”. Namun sebelum adanya sumpah serapah tersebut gunung ini bernama Gunung Gajah. Nama Gunung Pegat juga sesuai dengan letak geologis gunung tersebut: yakni satu gunung yang di pegat atau dipisah menjadi dua, di sebelah Barat dan di sebelah Timur.
Sebelum masa kolonial Belanda, dulu ada seorang Putra dan Putri yang saling mencintai sedang bertapa di Gunung ini. Namun saat Belanda datang dan memisah gunung ini maka berpisahlah Putra dan Putri ini. Saat terpisah, Putra dan Putri tersebut sengaja melempar ayam kampung berwarna hitam karena masyarakat percaya bahwa bahwa ayam hitam sebagai simbol tolak balak apese yang bertujuan menghindari ketidakbahagiaan rumah tangga, seperti: rezeki sulit, tidak memiliki keturunan, salah satu keluarga meninggal dan sebagainya.
Sebelum melakukan tradisi melempar ayam tidak ada bacaan khusus, hanya doa pribadi agar pernikahan yang akan dilaksanakan langgeng dan lancer. Kemudian ayam tersebut dilempar di sebelah kiri agar tidak tertabrak kendaraan yang melintas, kadang juga diberikan kepada warga yang berada di sekitar. Karena biasanya sudah ditunggu oleh beberapa anak-anak dan orang-orang sekitar Pegat. Siapapun di antara mereka dapat menangkap ayam tersebut, agar menjadi miliknya. Pelepasan ayam tersebut selain sebuah tradisi juga sebagai bentuk sedekah. Tidak ada aturan atau syarat untuk pelaku yang melempar ayam dan proses pelemparannya. Hanya harus menggunakan ayam kampung berwarna hitam.
Saat ini mitos melempar ayam di Gunung Pegat masih dilakukan bagi masyarakat sekitar yang mempercayai akan adanya mitos ini guna untuk menghindari hal-hal buruk yang tidak ingin terjadi. Maka jika ada pengantin yang melewati Gunung Pegat maka harus melempar ayam dan berdoa agar pernikahanya diberikan kelancaran dan langgeng. Kebanyakan masyarakat yang masih mempercayai mitos ini adalah sesepuh-sesepuh desa dan mereka yang beraliran kejawen. Yang biasanya masih kental dengan mitos-mitos setempat, dan pola pikir mereka mempercayai bahwa semua benda di alam semesta memiliki nyawa dan bisa memberikan keselamatan atau kesengsaraan.
Kepercayaan adanya mitos tersebut kembali sesuai dengan pribadi masing-masing. Bagaimana seorang tersebut meyakini dengan kepercayaan seperti itu, karena semua hal yang terjadi di dunia tentu saja atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Sebagian masyarakat tidak mempercayai mitos ini karena menganggap tradisi melempar ayam hanyalah mitos belaka, tergantung kita mempercayai atau tidak. Jika kita mempercayai mitos ini, bisa saja hal yang tidak diinginkan akan terjadi. Namun, jika dalam hati tidak percaya maka hal demikian tidak akan terjadi. Kalaupun terjadi bukan karena tidak melempar ayam, tetapi kehendak Tuhan. Hal tersebut disebabkan karena sugesti diri kita sendiri.
Namun ada juga sebagian masyarakat yang meyakini adanya mitos tersebut. Karena mereka memiliki kepercayaan apabila tidak melempar suatu saat akan bercerai karena sudah banyak yang mengalaminya. Mereka menganggap ayam kampung hitam merupakan persyaratan pengantin yang menikah dari jalur utara-selatan atau selatan-utara agar tidak bercerai/pegatan. Dalam suatu masyarakat pasti ada norma sosial yang berlaku dan harus dilaksanakan, apabila masyarakat tidak melaksanakan maka akan menerima konsekuensinya. Salah satu contohnya yaitu tradisi melempar ayam ini. Apabila tidak mematuhi norma sosial yang berlaku akan mendapat konsekuensi, salah satunya menjadi bahan gosip atau di guncingkan oleh banyak orang atau masyarakat setempat.
Kemudian ada pula sebagian masyarakat yang memilih cara lain yaitu memilih jalan memutar untuk menghindari Gunung Pegat. Karena mereka tidak ingin percaya adanya perceraian akibat mitos Gunung Pegat dan tidak ingin melakukan tradisi melempar ayam di Gunung Pegat. Itu artinya tidak semua masyarakat melakukan tradisi melempar ayam dan tidak mempercayai mitos Gunung Pegat. Mereka mempercayai takdir yang telah digariskan Tuhan. Mitos hanyalah cerita yang merupakan tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi yang belum dibuktikan secara ilmiah.
Comments